Tidak tersedia
definisi standar yang berlaku luas untuk menjelaskan istilah Kerjasama
Pemerintah dan Swasta (KPS) atau PPP (public
private partnership). Grout (2005)
menitikberatkan sifat jangka panjang kontrak KPS dengan mengasosiasikannya pada
skema DBFO (design, build, finance,
operate) di mana konsorsium perusahaan swasta (melalui pemberian “konsesi” oleh Pemerintah) mendisain, membangun,
membiayai, mengoperasikan suatu fasilitas infrastruktur dan menjual layanan
akhirnya kepada publik atau masyarakat. Sementara model
PFI (Private Finance Initiative) yang
banyak dikembangkan di Inggris sejatinya merupakan perluasan dari konsep KPS,
yang memungkinkan layanan yang dihasilkan oleh pihak swasta dibayar oleh pihak
Pemerintah, atau tidak selalu oleh pengguna akhir yang merupakan konsep tradisional
dari KPS (Davies dan Eustice, 2005).
Konsep yang lebih
lengkap disampaikan oleh Yescombe (2007), bahwa KPS memiliki elemen-elemen
utama: (1) Kontrak bersifat jangka panjang (“Kontrak KPS”) antara pihak publik
(dalam hal ini Pemerintah) dengan pihak swasta; (2) Untuk kegiatan perancangan,
pembangunan, pendanaan, dan pengoperasian (“Fasilitas”) yang dilakukan oleh
pihak swasta; (3) Di sepanjang periode kontrak, pihak swasta menerima
pembayaran penggunaan fasilitas oleh pihak Pemerintah atau masyarakat luas
sebagai pengguna fasilitas; dan (4) Kepemilikan fasilitas masih tetap berada
pada pihak Pemerintah, atau akan diserahkan kepemilikannya kepada Pemerintah saat kontrak
berakhir. Dengan demikian
fitur utama KPS adalah tentang penyediaan dan penjualan layanan, bukan sekedar
aktifitas membangun atau mengadakan aset/fasilitas fisik dan mengoperasikannya.
Seperti diilustrasikan pada gambar d atas, perbedaan utama antara KPS dengan metode pengadaan sektor publik pada umumnya (tradisional) terletak pada mekanisme pengembalian investasi bagi sektor swasta. Dengan KPS, pengembalian investasi sektor swasta terkait dengan layanan yang dihasilkan dan kinerja aset selama masa kontrak (concession period). Penyedia jasa sektor swasta bertanggung jawab tidak hanya untuk penyediaan aset/fasilitas, tetapi untuk manajemen dan implementasi proyek secara keseluruhan, dan pengoperasian untuk beberapa tahun setelahnya. Dalam hal ini waktu pembayaran kepada sektor swasta untuk aktiva dan layanan yang diberikan sangat berbeda. Meskipun tidak ada definisi yang berlaku luas mengenai pengadaan tradisional, tapi bisa dikarakterisasi melalui hal-hal berikut (Davies dan Eustice, 2005): (1) sektor publik mengadakan aset, bukan jasa yang umumnya disediakan oleh sektor swasta; (2) aset ditentukan oleh input, dalam hal ini sektor publik melakukan disain sebelum pengadaan (untuk pembangunan); (3) sektor swasta hanya bertanggungjawab untuk memberikan aset, bukan untuk kinerja jangka panjang di luar periode standar garansi; dan (4) manajemen proyek pengadaan biasanya tetap oleh sektor publik.
Seperti diilustrasikan pada gambar d atas, perbedaan utama antara KPS dengan metode pengadaan sektor publik pada umumnya (tradisional) terletak pada mekanisme pengembalian investasi bagi sektor swasta. Dengan KPS, pengembalian investasi sektor swasta terkait dengan layanan yang dihasilkan dan kinerja aset selama masa kontrak (concession period). Penyedia jasa sektor swasta bertanggung jawab tidak hanya untuk penyediaan aset/fasilitas, tetapi untuk manajemen dan implementasi proyek secara keseluruhan, dan pengoperasian untuk beberapa tahun setelahnya. Dalam hal ini waktu pembayaran kepada sektor swasta untuk aktiva dan layanan yang diberikan sangat berbeda. Meskipun tidak ada definisi yang berlaku luas mengenai pengadaan tradisional, tapi bisa dikarakterisasi melalui hal-hal berikut (Davies dan Eustice, 2005): (1) sektor publik mengadakan aset, bukan jasa yang umumnya disediakan oleh sektor swasta; (2) aset ditentukan oleh input, dalam hal ini sektor publik melakukan disain sebelum pengadaan (untuk pembangunan); (3) sektor swasta hanya bertanggungjawab untuk memberikan aset, bukan untuk kinerja jangka panjang di luar periode standar garansi; dan (4) manajemen proyek pengadaan biasanya tetap oleh sektor publik.
Peristilahan KPS
sedang mencari bentuknya yang universal, sehingga istilah ini kadang digunakan
secara bergantian dengan “privatisasi”. Padahal, jika dipahami secara
komprehensif maka penggunaan istilah privatisasi (privatization) sesungguhnya hanya untuk menjelaskan model-model
partisipasi pihak swasta (private sector
participation) dalam pembangunan dan/atau pengelolaan infrastruktur publik.
Dalam hal ini KPS dilihat sebagai salah satu model partisipasi pihak swasta. Dalam
hal ini privatisasi yang biasa diasosiasikan dengan penjualan aset (asset sale) atau pengalihan aset (asset transfer) melalui program
divestasi (divestiture) tidak lagi
menyisakan kendali pemerintah atas pengelolaan aset infrastruktur yang
dialihkan kepada pihak swasta (WPC, 2003). Dalam kontrak KPS, pihak Pemerintah
masih memiliki dan mengendalikan aset dan layanan (infrastruktur) serta
menetapkan harga penggunaannya (user
rates). Selain itu, tujuan utama para pihak dalam KPS adalah berbagi risiko
dan tanggungjawab, dengan demikian kontrak merupakan jantung dari setiap skema
KPS, yang mengandung tugas-tugas dan kewajiban para pihak (Hardcastle, 2006).
hp.
Referensi:
Davies, P., dan Eustice, K. (2005) : Delivering the PPP Promise: A Review of PPP
Issues and Activity, PricewaterhouseCoopers.
Grout, P. (2005) : Value-for-Money Measurement
in Public-Private Partnerships, EIB
Papers, 10 (2), 32-56.
Hardcastle, C. (2006) : The Private Finance
Initiative – Friend or Foe, Proceedings
of the International Conference in the Built Environment in the 21st Century
(ICiBE 2006), Selangor, Malaysia.
Water Partership Council (WPC). (2003) : Establishing Public-Private Partnerships for
Water and Wastewater Systems: A Blueprint for Success, Washington, D.C.
Yescombe, E.R. (2007) : Public-Private Partnerships: Principles of Policy and Finance,
Elsevier Ltd, London.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar