Jumat, 01 Agustus 2014

Urgensi Konsesi Infrastruktur Air Minum Di Indonesia?



Investasi infrastruktur air minum oleh sektor swasta menggunakan skema-skema KPS telah menjadi kecenderungan global. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Private Participation in Infrastructure (PPI) Database, hingga akhir tahun 2008 (sejak 1991) menunjukkan tidak kurang dari 662 proyek KPS di sektor infrastruktur air minum telah ditransaksikan dengan nilai (secara kumulatif) mencapai USD 59,281 Milyar (Pangeran, 2011). Proyek-proyek tersebut tersebar di 60 negara yang didominasi negara-negara di kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik (49%). Dari total 662 proyek yang ditransaksikan, 39% diantaranya berskema Konsesi dengan kontribusi sekitar 65% dari total investasi pada sektor ini. Bahkan pada tahun-tahun sebelum 1998, skema Konsesi selalu mendominasi praktek KPS di berbagai negara. Hal itu beralasan mengingat manfaat yang ditawarkan oleh skema konsesi dibanding yang lainnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Silva dkk (1998), Konsesi menarik bagi sektor publik karena skema ini mendelegasikan tanggungjawab sepenuhnya untuk investasi dan operasional kepada sektor swasta, termasuk risiko-risiko yang berkaitan dengan investasi dan komersial.

Opsi Konsesi menjadi signifikan mengingat tekanan pencapaian target MDG, khususnya target kesepuluh yang menetapkan untuk mengurangi hingga setengah dari proporsi penduduk dunia yang tidak memiliki akses pada air minum yang sehat di tahun 2015. Upaya pencapaian MDG ini semakin menantang mengacu pada masih rendahnya investasi swasta pada sektor air minum, yaitu hanya 3% dari total populasi masyarakat miskin di negara-negara yang telah menerapkan keterlibatan swasta (Winpenny, 2003). Lebih dari itu, dibandingkan dengan sektor infrastruktur lain, proyek-proyek KPS sektor air minum hanya mampu menarik 5% komitmen investasi di negara-negara berkembang (Izaguirre dan Hunt, 2005), atau relatif kecil terhadap kebutuhan sektor untuk memenuhi target MDG. Sementara perluasan jaringan adalah agenda krusial untuk mencapai target MDG, dalam konteks normatif KPS sasaran tersebut hanya bisa ditemukan pada skema Konsesi (Hall dan Lobina, 2006). Dengan memilih skema Konsesi maka tanggungjawab pihak swasta tidak hanya pada operasi dan pemeliharaan, tapi termasuk juga pembangunan baru, peningkatan kapasitas produksi, serta perluasan jaringan pelayanan hingga ke pengguna akhir.

Keikutsertaan pihak swasta dalam pembangunan dan/atau pengelolaan infrastruktur air minum di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1992, namun masih terbatas pada pekerjaan-pekerjaan skala kecil menggunakan skema service contract untuk pembacaan meter, pengumpulan rekening, dan pekerjaan-pekerjaan pemeliharaan (UNESCAP, 2007). Adapun skema KPS berskala besar menggunakan kontrak BOT pertama kali dikembangkan di Kota Denpasar pada tahun 1993, diikuti oleh skema konsesi di Kota Batam pada tahun 1995, dan dua skema konsesi modifikasi di DKI Jakarta untuk wilayah barat dan timur.

Dalam kasus konsesi di DKI Jakarta, sebagaimana dinyatakan di dalam Lanti dkk (2008), pemilihan operator swasta dilakukan melalui negosiasi langsung, sebagai tindak lanjut dari petunjuk Presiden Suharto tentang pentingnya KPS dalam pembangunan infrastruktur. Setelah negosiasi yang berkepanjangan dan melelahkan dari tahun 1995, pada tahun 1998, dua kontrak konsesi berdurasi 25 tahun diberikan kepada dua operator swasta untuk penyediaan layanan air minum di DKI Jakarta. Konsesi infrastruktur air minum di DKI Jakarta dibagi ke dalam dua zona, yaitu Zona Barat diberikan kepada perusahaan patungan dari Suez (awalnya Lyonnaise des Eaux), dan Zona Timur yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Thames Water International (sekarang PT. Aetra). Kedua konsorsium terdiri dari perusahaan internasional dan perusahaan Indonesia. Di sisi pemerintah, yang bertindak sebagai penandatangan kontrak adalah PAM Jaya yang merupakan perusahaan air minum publik milik Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, termasuk mengambil peran dalam pemantauan kontrak (Jensen, 2005). Berdasarkan Kontrak Konsesi, Pihak PAM Jaya menyerahkan tanggungjawab kepada kedua mitra swasta untuk mengoperasikan, memelihara dan mengembangkan sistem penyediaan air minum kota DKI Jakarta, termasuk di dalamnya perbaikan dan pengembangan pengolahan air, sistem distribusi dan jaringan-jaringannya serta pelayanan langsung pada masyarakat dan pengumpulan rekening. Untuk menjalankan kegiatan operasional, mitra swasta memanfaatkan seluruh staf PAM Jaya dan pada saat berakhirnya masa kerjasama, seluruh sistem dan aset akan dikembalikan kepada PAM Jaya.

Konsesi di Pulau Batam telah memperlihatkan salah satu kasus kesuksesan skema konsesi dalam pembangunan dan pengelolaan infrastruktur air minum. Konsesi infrastruktur air minum di Batam diberikan oleh Badan Otorita Batam (OB) kepada konsorsium PT. Adhya Tirta Batam (ATB). Konsorsium ATB pada mulanya terdiri dari Biwater International Ltd., PT. Bangun Cipta Kontraktor dan PT. Syabata Cemerlang dengan komposisi kepemilikan saham masing-masing 45%, 45 % dan 10%. Di tahun 2001, PT. Syabata Cemerlang melepaskan sahamnya dan Biwater diakuisisi oleh Cascal BV dari Inggris yang merupakan anak perusahaan Biwater International, Ltd. Komposisi kepemilikan saham kemudian mengalami perubahan menjadi 50% dimiliki oleh PT Bangun Cipta Kontraktor dan 50% oleh Cascal BV. ATB mendapat konsesi untuk mengelola pelayanan air minum di Kota Batam selama 25 tahun, mulai tahun 1995 sampai dengan 2020. Dengan konsesi, ATB bertanggung jawab sepenuhnya untuk mengelola dan memasok air bersih di seluruh Pulau Batam.

Studi Pribadi dkk (2009) menunjukkan cakupan pelayanan ATB meningkat pesat dibanding tahun-tahun awal masa konsesi. Kunci dari peningkatan cakupan pelayanan ATB terletak pada kemampuan ATB memobilisasi investasi. ATB terlihat tidak mengalami kesulitan yang cukup berarti dalam memobilisasi pinjaman-pinjaman untuk memenuhi kebutuhan investasinya, sepanjang parameter-parameter “viability” proyek terpenuhi, seperti kepastian tarif dan IRR (internal rate of return). Kepastian persetujuan tarif ini juga terkait dengan tingkat imbal hasil proyek yang telah dipatok oleh ATB sebesar 26,5%. Dengan demikian akses pada pinjaman menjadi faktor yang sangat mempengaruhi dalam memobilisasi investasi melalui sumber pinjaman. Selain itu, parameter efisiensi operasional juga menunjukkan peningkatan yang berarti, seperti menurunnya rasio kehilangan air yang didominasi oleh illegal connection, hingga di bawah rata-rata persentase kehilangan air secara nasional. Sedangkan secara keseluruhan berdasarkan data BPPSPAM (2010), hingga saat ini telah beroperasi sekitar 25 proyek KPS dengan berbagai skema.

Jika dibandingkan dengan jumlah proyek KPS sektor air minum secara global, praktek KPS di sektor air minum di Indonesia relatif masih kecil. Hal ini tentu belum maksimal mengacu kepada kondisi nyata infrastruktur dan pelayanan air minum (terutama perpipaan) di Indonesia saat ini, yang mana pendanaan infrastruktur air minum masih bertumpu kepada anggaran Pemerintah. Sementara berdasarkan estimasi Kementerian PU (BPPSPAM, 2010), untuk meningkatkan cakupan pelayanan dari 42% ke 80% dibutuhkasn dana Rp. 129 Trilyun untuk periode 2005 – 2015. Untuk memenuhinya sektor swasta diharapkan berkontribusi sebesar 75% dari total biaya yang diperlukan sampai tahun 2015, sehingga jumlah biaya yang ditanggung pemerintah mencapai sekitar Rp. 30 Trilyun atau setara dengan US$ 30 Milyar. Selain terbatasnya pendanaan untuk mendukung keseluruhan aspek penyediaan air minum, rendahnya kinerja keuangan PDAM menyebabkan PDAM sulit mendapatkan sumber pendanaan alternatif. Hasil audit kinerja PDAM pada tahun 2007 menunjukkan hanya 22,42% atau 61 dari 272 PDAM dalam kondisi sehat (BPPSPAM, 2007).

Sementara itu, akumulasi kerugian seluruh PDAM yang merugi (68,02%) telah mencapai Rp. 4,83 Trilyun. Penyebab utamanya adalah sekitar 55,51% PDAM masih menerapkan tarif rata-rata di bawah biaya produksi air minum, disamping kapasitas sumber daya manusia dan pendanaan yang belum memadai, belum diterapkannya manajemen aset, serta belum disusunnya bussiness plan yang baik. Dilihat dari ukuran pelanggan, sebagian besar atau lebih dari 85% PDAM memiliki pelanggan kurang dari 10.000 dan hanya 4% yang memiliki pelanggan diatas 50.000. Sementara hanya lima PDAM yang memiliki cakupan pelayanan yang mencapai 80% penduduk. Selain tingkat cakupan pelayanan yang rendah, terdapat sejumlah permasalahan umum yang terjadi di hampir seluruh PDAM di Indonesia. Diantaranya adalah tingkat kualitas air dan pelayanan yang menurun setelah krisis ekonomi tahun 1998, yang diakibatkan oleh ditundanya perbaikan dan perawatan untuk memotong pengeluaran operasi. Efisiensi operasi dan keuangan PDAM juga mengindikasikan bahwa PDAM belum mengoptimalkan aset yang mereka miliki sehingga berakibat pada rendahnya efisiensi dan kinerja usahanya (World Bank, 2004).

Merujuk kepada data yang ada (BPPSPAM, 2010), setidaknya terdapat sepuluh proyek KPS potensial dan yang menjadi prioritas pemerintah saat ini. Jika dicermati dengan seksama, banyaknya jumlah PDAM yang beroperasi hingga saat ini dan kebutuhan investasi yang besar, mengindikasikan bahwa potensi pasar skema Konsesi untuk pembangunan dan pengelolaan infastruktur air minum di Indonesia adalah sangat signifikan. Peluang tersebut telah menjadi fokus pemerintah dewasa ini yang bisa dilihat dari semakin gencarnya upaya pemerintah dalam mempromosikan (memajukan) skema-skema investasi KPS bidang air minum kepada sektor swasta.

Namun demikian keputusan untuk menggunakan skema konsesi hendaknya tidak serta-merta menganggap sektor swasta dapat beroperasi secara lebih efisien dari sektor publik. Ketika mengembangkan skema konsesi juga harus dipikirkan apakah opsi tersebut bisa menunjukkan bahwa sektor swasta akan memberikan nilai tambah (add value), baik secara finansial dan non-finansial, untuk merealisasikan hasil-hasil yang telah ditetapkan oleh sektor publik. Salah satu elemen kunci untuk kesuksesan konsesi adalah perlunya pengaturan mengenai rencana-rencana proyek yang secara komersial viable bagi sektor swasta. Hal ini dapat dicapai jika terjadi sinergi antara sektor swasta dan Pemerintah atau jika terjadi alokasi risiko yang optimal di mana sektor swasta menjadi pihak yang paling tepat untuk mengelola risiko-risiko yang terkait dengan proyek yang selama ini melekat kepada pemerintah dalam pengadaan proyek konvensional.

Referensi
Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM). (2007). Direktori Kinerja PDAM Tahun 2007, Jakarta.
Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM). (2010). Indonesia Water Supply Infrastructure PPP Investment Opportunities 2010, Jakarta
Hall, D., dan Lobina, E. (2006). Pipe Dreams: The Failure of The Private Sector to Invest in Water Services in Developing Countries, Public Services International Research Unit, UK.
Izaguirre, A. K., dan Hunt, C. (2005). Private Water Projects: Investments Flows Up by 36 percent in 2004, Public Policy for the Private Sector, 297, The World Bank Group, Washington. D.C.
Lanti, A., Nugroho, R., Ali., Kretarto, A., dan Zulfikar, A. (2008). Sepuluh Tahun Kerjasama Pemerintah-Swasta Di DKI Jakarta 1998 – 2008, Badan Regulator PAM, Jakarta.
Pangeran, M.H. (2011). Model Public Sector Comparator dalam Tender Konsesi Infrastruktur Air Minum, Disertasi, Program Studi Doktor Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung.
Pribadi, K,S., Anwar, A., dan Pangeran, M,H. (2009). Comparing Performance of Public and Private Sector Operator in Drinking Water Supply in Indonesia: A Case Study of Bogor and Batam City, Proceedings of The 1st International Conference on Sustainable Infrastructure and Built Environment in Developing Countries, Bandung.
The United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP). (2007). Public Private Partnership for Infrastructure Development: Indonesia Country Paper, High Level Expert Group Meeting UNESCAP, Republic of Korea.
World Bank (2004) : Averting an Infrastructure Crisis: A Framework for Policy and Action, The World Bank Office, Jakarta