Sabtu, 01 Oktober 2011

Approaches to Private Participation in Water Services: A Toolkit


Improving the services these people receive is vital, and a purpose to which the development community is committed. The Millennium Development Goals include halving the proportion of people without access to safe drinking water by 2015. The goals announced in Johannesburg in 2002 call for halving the proportion of people without access to basic sanitation as well. Improving water services is accordingly a critical part of the strategy of the World Bank and the two other organizations that have funded this Toolkit—the Public–Private Infrastructure Advisory Facility and the Bank–Netherlands Water Partnership.

This Toolkit aims to help developing country governments that are interested in using private firms to help expand access to safe water and sanitation services at reasonable cost. Specifically, it aims to help them and their advisers design arrangements that maximize the benefits for their countries, provinces, or municipalities. It is intended to complement other work being undertaken by the World Bank and others on options for improving public provision of water services. Instead of identifying a single best approach to addressing the issues it discusses, the Toolkit presents options and discusses their main advantages and disadvantages. In so doing, it aims to give advisers and policy makers the information they need to make decisions, while taking account of local circumstances and the policy makers’ objectives.

Private participation in water and sanitation (or “water services” for short) can take many forms. This Toolkit focuses on arrangements that involve a private firm in the delivery of services to households and businesses, including management contracts, leases, affermages, concessions, and divestitures. It does not consider arrangements under which private companies provide bulk water or wastewater treatment to a government-owned utility.Nor does it consider arrangements under which private companies provide selected services—such as billing and collection— to a utility that is still publicly managed.

The nine chapters of this toolkit as follows:
Chapter 1 provides an overview of private participation in water services and what it can be expected to achieve.
Chapter 2 provides an overview of the process governments typically follow when introducing private participation.
Chapter 3 discusses ways of involving customers, potential customers, and other stakeholders in the design of arrangements and ways of distributing the benefits and costs of private participation to increase stakeholder support.
Chapter 4 considers some of the options governments have for the water sector as a whole, such as the appropriate geographic aggregation of utilities and the allocation of responsibilities among different tiers of government.
Chapter 5 considers the options the government has for setting targets relating to coverage and quality; the implications of those targets for the cost of service; options for supplementing tariff revenue with government subsidies; and some implications for financing.
Chapter 6 provides advice on the allocation of risks and responsibilities among customers, the operator, and the government, including tariff-adjustment and other rules that effect the allocation of risk.
Chapter 7 considers the choice and design of institutions—including courts, arbitral panels, independent experts, and regulatory agencies—that will interpret and apply the rules over the life of the arrangements.
Chapter 8 considers which legal instruments (laws, regulations, and contracts) should embody the rules, recognizing that the parties will sometimes have an incentive to break the rules.
Chapter 9 reviews the approaches governments can use to select the operator.

Year: 2006
Pages: 504
Publisher: Public-Private Infrastructure Advisory Facility
Language: English
ISBN:  0-8213-6111-2
e-ISBN: 0-8213-6112-0

Free download here

Sabtu, 24 September 2011

Spektrum Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur

Gambar berikut mengilustrasikan cara pandang pengadaan infrastruktur sebagai suatu continuum, dimulai dari pendekatan pengadaan secara tradisional yang dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah mengunakan metode pengadaan yang memisahkan pengadaan untuk kegiatan disain dan pelaksanaan konstruksi atau DBB (design/bid/build), serta metode rancang bangun atau DB (design/build) yang menggabungkan pengadaan kegiatan disain dan pelaksanaan konstruksi, hingga penyelenggaraan sepenuhnya oleh pihak swasta melalui divestasi yang merupakan bentuk dari privatisasi penuh (full privatization).
KPS berada di dalam wilayah di antara pengadaan proyek secara tradisional (DBB/DB) hingga privatisasi penuh. Dengan mengabaikan opsi divestasi yang merupakan bentuk privatisasi, sebagai suatu spektrum dari berbagai kemungkinan ikatan kontraktual, KPS untuk tujuan pembangunan dan/atau pengelolaan infrastruktur bisa diupayakan dalam jangka pendek (short-term) untuk waktu kurang dari 5 (lima) tahun, menengah (mid-term) hingga 15 tahun atau panjang (long-term) hingga lebih dari 25 tahun. Istilah ”sektor publik (public sector)” yang menyertai istilah KPS adalah merujuk pada Pemerintah sebagai representasi publik, yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan infrastruktur, baik dilakukan secara langsung maupun melalui badan-badan layanan umum (public bodies). Pemerintah bisa jadi unit atau departemen Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (Pemda) (Propinsi/ Kabupaten/Kota), termasuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) seperti Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sementara sektor swasta bisa berbentuk perusahaan tunggal atau konsorsium (gabungan beberapa perusahaan), termasuk juga NGO (non-governmental organization).

Secara ringkas, Kontrak Pelayanan (Service Contract) merupakan kerjasama di mana mitra swasta diberi tanggungjawab melaksanakan suatu jasa pelayanan dalam suatu jangka waktu tertentu, misal perawatan jaringan, pencatatan meter, dan penagihan rekening. Kontrak Kelola (Management Contract) adalah kerjasama di mana pemerintah menyerahkan tanggungjawab kepada mitra swasta dalam menyediakan jasa manajemen untuk pengelolaan dan pengusahaan kegiatan operasi dan pemeliharaan, termasuk tanggung jawab pengambilan keputusan dalam pelaksanaan kegiatannya. Kontrak Sewa (Lease Contract) merupakan kerjasama di mana pemerintah menyewakan suatu fasilitas pelayanan kepada mitra swasta untuk dioperasikan dan dipelihara. Mitra swasta menyediakan modal kerja untuk memelihara dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan selama masa operasi tertentu. Sementara Kontak BOT (Build, Operate, Transfer) merupakan kerjasama di mana pemerintah memberikan hak (disebut juga dengan konsesi) kepada mitra swasta untuk melakukan investasi dengan membangun suatu fasilitas tertentu di wilayah yang belum ada sama sekali fasilitas (greenfield project) yang selanjutnya dioperasikan selama masa konsesi, dan pada akhir masa konsesi seluruh fasilitas yang dibangun oleh mitra swasta akan diserahkan kepada pemerintah.

hp.

Jumat, 23 September 2011

Regulasi Terkait Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur di Indonesia


Setidaknya terdapat lima peraturan khusus KPS dalam pembangunan infrastruktur di Indoneia, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) No. 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, Perpres No. 13/2010 tentang Perubahan Perpres No. 67/2005 – keduanya mengatur tentang ketentuan umum KPS – serta peraturan mengenai prosedur penyediaan dukungan pemerintah, yaitu Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No. 38/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Risiko Atas Penyediaan Infrastruktur, Peraturan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi No. 4/2006 tentang Metodologi Evaluasi Proyek Infratruktur KPS yang Memerlukan Dukungan Pemerintah, dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 35/2009 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Penjaminan Infrastruktur.

Perpres No. 67/2005 mengatur tentang KPS untuk proyek-proyek infrastruktur tertentu, termasuk penyediaan air minum. KPS dapat dilaksanakan berdasarkan permohonan atau tidak dimohonkan namun pada umumnya penyeleksian terhadap badan usaha harus dilakukan melalui proses tender secara terbuka. Proyek yang “Solicited” diidentifikasi dan disiapkan oleh Pemerintah, sedangkan “Unsolicited” diidentifikasi dan diajukan kepada Pemerintah oleh suatu Badan Usaha. Lembaga Pemerintah untuk KPS dapat diadakan baik di tingkat regional ataupun nasional. Proyek KPS dapat dilaksanakan berdasarkan perijinan Pemerintah ataupun melalui Perjanjian Kerjasama (PK). Pemerintah dapat memberikan dukungan perpajakan dan/atau non-pajak untuk meningkatkan kelayakan suatu proyek infrastruktur. Proyek ini harus terstruktur untuk dapat mengalokasikan risiko yang mampu dikelola secara maksimal oleh pihak pelaksana.

Perpres No. 13/2010 merupakan revisi untuk menggantikan Perpres No. 67/2005, dimaksudkan untuk memberikan kepastian dan meningkatkan daya tarik sektor swasta untuk berinvestasi di bidang infrastruktur, untuk melakukan sinkronisasi dengan peraturan yang berlaku terakhir pada penyediaan infrastruktur, dan untuk menjelaskan seluruh proses KPS seperti dukungan pemerintah, proses tender, menambahkan nilai proyek yang tidak diminta, dan pengaturan pengalihan saham (BPPSPAM, 2010). Perpres No. 13/2010 telah menjawab beberapa substansi yang berhubungan dengan persaingan bisnis seperti penentuan tarif, standar kinerja, sanksi dan mekanisme pengawasan terhadap mitra swasta harus diatur dalam perjanjian tersebut, dan hak dan kewajiban para pihak (termasuk alokasi risiko).

Permenkeu No. 38/2006 menjabarkan kondisi-kondisi dan proses untuk mengusahakan adanya dukungan pemerintah, antara lain penjaminan-penjaminan. Pemerintah dapat memberikan jaminan terhadap tiga jenis risiko, yaitu: Risiko Politik (pengambilalihan aset, perubahan peraturan, dan pembatasan konversi mata uang dan larangan repatriasi dana), Risiko Kinerja Proyek (keterlambatan dalam proses pembebasan lahan, peningkatan biaya perolehan tanah, perubahan dalam spesifikasi kontrak kerja, penundaan atau adanya penurunan kontrak penyesuaian atas tarif, keterlambatan ijin untuk memulai kegiatan), dan Risiko Permintaan (pendapatan riil yang berada di bawah pendapatan minimum yang dijamin karena adanya permintaan yang lebih rendah dari kontrak).

Sementara Peraturan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi No. 4/2006 mensyaratkan bahwa permintaan dukungan harus dimuat pada bagian studi kelayakan. Hal ini lebih tegas diatur dari pada pengaturan awal studi kelayakan sebagaimana dimuat dalam Permenkeu No. 38/2006. Kedua peraturan tersebut menentukan bahwa dokumen lain harus diajukan untuk meminta dukungan, termasuk format kerjasama, rencana anggaran, hasil dari konsultasi publik dan lainnya. Untuk mengelola jaminan-jaminan tersebut Pemerintah telah mendirikan PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT. PII). Upaya ini diharapkan dapat mengurangi pengeluaran biaya pembangunan proyek infrastruktur KPS dengan meningkatkan kualitas dan kredibilitas proyek KPS, serta membantu Pemerintah untuk mengelola risiko pajak dengan lebih baik dengan adanya penjamian ini. 

hp.

Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur

Tidak tersedia definisi standar yang berlaku luas untuk menjelaskan istilah Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) atau PPP (public private partnership). Grout (2005) menitikberatkan sifat jangka panjang kontrak KPS dengan mengasosiasikannya pada skema DBFO (design, build, finance, operate) di mana konsorsium perusahaan swasta (melalui pemberian “konsesi oleh Pemerintah) mendisain, membangun, membiayai, mengoperasikan suatu fasilitas infrastruktur dan menjual layanan akhirnya kepada publik atau masyarakat. Sementara model PFI (Private Finance Initiative) yang banyak dikembangkan di Inggris sejatinya merupakan perluasan dari konsep KPS, yang memungkinkan layanan yang dihasilkan oleh pihak swasta dibayar oleh pihak Pemerintah, atau tidak selalu oleh pengguna akhir yang merupakan konsep tradisional dari KPS (Davies dan Eustice, 2005).

Konsep yang lebih lengkap disampaikan oleh Yescombe (2007), bahwa KPS memiliki elemen-elemen utama: (1) Kontrak bersifat jangka panjang (“Kontrak KPS”) antara pihak publik (dalam hal ini Pemerintah) dengan pihak swasta; (2) Untuk kegiatan perancangan, pembangunan, pendanaan, dan pengoperasian (“Fasilitas”) yang dilakukan oleh pihak swasta; (3) Di sepanjang periode kontrak, pihak swasta menerima pembayaran penggunaan fasilitas oleh pihak Pemerintah atau masyarakat luas sebagai pengguna fasilitas; dan (4) Kepemilikan fasilitas masih tetap berada pada pihak Pemerintah, atau akan diserahkan kepemilikannya kepada Pemerintah saat kontrak berakhir. Dengan demikian fitur utama KPS adalah tentang penyediaan dan penjualan layanan, bukan sekedar aktifitas membangun atau mengadakan aset/fasilitas fisik dan mengoperasikannya. 




Seperti diilustrasikan pada gambar d atas, perbedaan utama antara KPS dengan metode pengadaan sektor publik pada umumnya (tradisional) terletak pada mekanisme pengembalian investasi bagi sektor swasta. Dengan KPS, pengembalian investasi sektor swasta terkait dengan layanan yang dihasilkan dan kinerja aset selama masa kontrak (concession period). Penyedia jasa sektor swasta bertanggung jawab tidak hanya untuk penyediaan aset/fasilitas, tetapi untuk manajemen dan implementasi proyek secara keseluruhan, dan pengoperasian untuk beberapa tahun setelahnya. Dalam hal ini waktu pembayaran kepada sektor swasta untuk aktiva dan layanan yang diberikan sangat berbeda. Meskipun tidak ada definisi yang berlaku luas mengenai pengadaan tradisional, tapi bisa dikarakterisasi melalui hal-hal berikut (Davies dan Eustice, 2005): (1) sektor publik mengadakan aset, bukan jasa yang umumnya disediakan oleh sektor swasta; (2) aset ditentukan oleh input, dalam hal ini sektor publik melakukan disain sebelum pengadaan (untuk pembangunan); (3) sektor swasta hanya bertanggungjawab untuk memberikan aset, bukan untuk kinerja jangka panjang di luar periode standar garansi; dan (4) manajemen proyek pengadaan biasanya tetap oleh sektor publik.

Peristilahan KPS sedang mencari bentuknya yang universal, sehingga istilah ini kadang digunakan secara bergantian dengan “privatisasi”. Padahal, jika dipahami secara komprehensif maka penggunaan istilah privatisasi (privatization) sesungguhnya hanya untuk menjelaskan model-model partisipasi pihak swasta (private sector participation) dalam pembangunan dan/atau pengelolaan infrastruktur publik. Dalam hal ini KPS dilihat sebagai salah satu model partisipasi pihak swasta. Dalam hal ini privatisasi yang biasa diasosiasikan dengan penjualan aset (asset sale) atau pengalihan aset (asset transfer) melalui program divestasi (divestiture) tidak lagi menyisakan kendali pemerintah atas pengelolaan aset infrastruktur yang dialihkan kepada pihak swasta (WPC, 2003). Dalam kontrak KPS, pihak Pemerintah masih memiliki dan mengendalikan aset dan layanan (infrastruktur) serta menetapkan harga penggunaannya (user rates). Selain itu, tujuan utama para pihak dalam KPS adalah berbagi risiko dan tanggungjawab, dengan demikian kontrak merupakan jantung dari setiap skema KPS, yang mengandung tugas-tugas dan kewajiban para pihak (Hardcastle, 2006).

hp.

Referensi:
Davies, P., dan Eustice, K. (2005) : Delivering the PPP Promise: A Review of PPP Issues and Activity, PricewaterhouseCoopers.
Grout, P. (2005) : Value-for-Money Measurement in Public-Private Partnerships, EIB Papers, 10 (2), 32-56.
Hardcastle, C. (2006) : The Private Finance Initiative – Friend or Foe, Proceedings of the International Conference in the Built Environment in the 21st Century (ICiBE 2006), Selangor, Malaysia.
Water Partership Council (WPC). (2003) : Establishing Public-Private Partnerships for Water and Wastewater Systems: A Blueprint for Success, Washington, D.C.
Yescombe, E.R. (2007) : Public-Private Partnerships: Principles of Policy and Finance, Elsevier Ltd, London.